PRAGMATIK: KESANTUNAN BAHASA
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Berbicara tidak selamanya
berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula
berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Apabila sebagai
retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama maka dalam retorika
interpersonal, pragmatik
membutuhkan prinsip kesantunan
bahasa.
Kesantunan dalam berbahasa merupakan
bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan
(language in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogyanya
mendapatkan perhatian, baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar
bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan bahasa,
karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk berbahasa” senantiasa melakukan
komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika
Kesantunan berbahasa merupakan
salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional
penuturnya karena didalam terdapat komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya
dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga
keharmonisan hubungan. Kesantunan
berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata
cara berbahasa.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini
adalah pengertian kesantunan dan jenis-jenis kesantunan.
1.3 Tujuan
Tujuan dari pembahasan yang
dilakukan dalam makalah ini adalah mengungkap pengertian kesantunan dan
jenis-jenis kesantunan.
BAB II PEMBAHASAN
Bersikap atau
berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak
sosial penutur dan mitra tutur. Makna
kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara umum, padahal kedua hal tersebut
sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal
tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan
hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial
(Thomas, 1995).
Kesantunan dapat
dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung
nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Kedua, kesantunan sangat
kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu,
tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketiga,
kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara
anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua,
antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita dan lain sebagainya. Keempat,
kesantunan tercermin dalam cara berbusana,
cara bertindak dan cara
bertutur.
Kesantunan
berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan
kecerdasan emosional penuturnya karena didalam terdapat komunikasi, penutur dan
petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap
berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.
Kesantunan
berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata
cara berbahasa. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta
komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi.
Kesantunan memang
penting dimana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa
kesantunan yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat, termasuk
kesantunan berbahasa.
Kesantunan itu
sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti
menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti
berbahasa (atau berperilaku)
dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur.
2.1 Teori Wajah oleh Goffman,
Brown, dan Levinson
Menurut Brown dan
Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya
bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik
penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti
rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin
padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep “wajah” ini berakar dari konsep tradisional di
Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius terkait dengan nilai-nilai
kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi Cina, melekat atribut
sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh
masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan “pinjaman
masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh sebuah
perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh pemberi. Oleh karena itu, si pemilik
wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman
(1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson
(1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh
setiap insan dan bersifat universal. Teori ini kemudian memilah wajah menjadi dua jenis.: wajah dengan
keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative
face). Wajah positif terkait
dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara
itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas
dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap
kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti
yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu
caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak
nilai-nilai wajah itu.
Kesantunan sering dikaitkan dengan kesopanan,
tetapi kedua kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Kata sopan
memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun
memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan
mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan
dan bukan kesopanan.
Rasa hormat yang
ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan
berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak
sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah).
Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat
sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial
yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya). Untuk lebih memahami
konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan contoh-contoh, baik wajah positif
maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.
2.1.1 Wajah Positif (Positive Face)
Sebagaimana telah
disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara
penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang teman berikut ini.
Ela : Aku
pulang dulu ya.
Shofi : Wes
mari? Iyo wes yo Pezz mari dewe. Gelundung, gelundung dewe! Ora bala wes.
(Sudah selesai? Iya sudah ya Pez, selesai dulua. Menggelinding sendiri ya! gak
berteman lagi sudah.)
Ela : Ya wes. Bali disek. (Ya sudah. Pulang
dulu.)
Sofi : Yo wes Pezz. Ati-ati Pezz. (Iya sudah Pezz.
Hati-hati Pezz.)
Apabila dilihat sejenak, percakapan
singkat antara dua orang ini
terkesan tidak sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka
berkomunikasi seperti ini, dengan alasan mereka adalah teman dekat. Hal ini dapat dilihat ketika Sofi
berkata pada ela “Iyo wes yo Pezz mari dewe. Gelundung, gelundung dewe!” Kata
“gelundung dewe!” mungkin apabila diucapkan pada orang yang memiliki jarak
sosial agak jauh atau jauh (bukan pada Ela dalam hal ini) akan menimbulkan
ketersinggungan pada mitra tutur. Dilihat dari aspek kesopanan, cara
mereka berkomunikasi memang ganjil bahkan sedikit terkesan tidak sopan, tetapi dari aspek
kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi ini adalah untuk
memelihara wajah masing-masing
dan menimbulkan keakraban pertemanan. Perhatikan contoh kedua berikut ini.
Sopir
A : Mus, apakah kamu sudah mendapatkan
kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?
Sopir
B : Eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli
persoalanku? Belum nih, tidak tahu mungkin sudah mereka bakar.
Sopir
A : Ah, kasih saja uang 150 biar mereka urus secepatnya.
Sopir
B : Ya astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi
mereka tidak mau.
Sejenak jika
dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, dan tidak sopan. Mungkin
sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini, dengan
alasan mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak ada
yang salah dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka
berkomunikasi memang ganjil,
tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi
ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.
Tuturan sopir B
memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan sopir
B) terjaga. Kata “pemabuk”
yang dituturkan oleh sopir B adalah untuk menunjukan kedekatan jarak
sosial, rasa kekoncoan, sehingga secara psikologis tidak ada jarak pula.
Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan bahasa semacam di atas
memiliki nilai wajah positif. Seandainya sopir B merespon pertanyaan sopir A
dengan irama sopan semacam “belum ada kabar Pak…” maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi
renggang, dan wajah mereka terancam.
Maksud dari
mengancam wajah (face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat
dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah
kerenggangan jarak sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif
tidak santun, atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep wajah positif. Mengenai
pengancaman wajah (face threatening act) ini akan diulas kemudian.
2.1.2 Wajah Negatif (Negative Face)
Berbeda dengan
wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini
dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan
contoh percakapan antara dua orang penumpang angkot yang tidak saling kenal antara
satu sama lain di bawah ini.
Penumpang
A : Maaf yah, numpang tanya, apakah Gambirono masih jauh dari
sini?
Penumpang
B : Wah mas, ini sekarang sudah sampai di Rambipuji. Memangnya mas mau
turun dimana?
Penumpang
A : Saya tadi bilang ke sopir kalau saya
mau turun di Gambirono. Maaf,
jadi apakah Gambirono
masih jauh?
Penumpang
B : Bukannya masih jauh Mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin
lebih baik Mas turun
disini saja, nanti naik angkot lagi dari timur, nanti bilang turun di Gabirono.
Penumpang
A : Waduh, terima kasih ya.
Penumpang
B : Terima kasih kembali Mas.
Sangat terlihat
jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini
menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan
kata “maaf” yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan
pengulangan penggunaan kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk menjaga wajah
negatif penumpang B. Artinya, penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka
hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah individu penumpang B.
Demikian pula
dengan penggunaan kata “Mas”
yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang merupakan sapaan sopan untuk
penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan masyarakat asli. Penggunaan dan pengulangan kata
“mas”, penumpang B berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri
penumpang A sebagai individu yang dihargai atribut individualnya, termasuk
sebagai pendatang dan bukan masyarakat asli.
Melalui dua contoh
yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam berbahasa, kita
harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur, agar tidak terjadi pengancaman wajah.
Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat
keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata
akademik.
2.1.3 Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)
Sebagaimana telah
dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat
diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang
lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang
penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan
individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri, mengancam jatidiri sebagai sahabat
dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah
kerenggangan jarak sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif
tidak santun, atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep wajah positif.
Pengancaman wajah
melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur
sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut
ini, dimana terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang
masih muda:
Tua: Heh… ini kan sudah malam, kok
ribut banget? Tidak ada rumah ya?
Muda: Kami minta maaf pak.
Dalam konteks
interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan
mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena jarak
sosial (usia dan juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini
bukan hanya mengancam wajah mitra tutur muda, melainkan juga wajah penutur tua itu
sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan
menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon dari mitra
tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act) yakni dengan cara melakukan
kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran
atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda
menyadari keinginan wajah penutur tua untuk tidak diganggu.
Pengancaman
terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif. Jika penutur
dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat
negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang
jauh, maka pengancaman wajah bersifat positif.
Intinya, wajah
positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur sebagaimana
kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan untuk bebas dari
interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika
keinginan wajah positif tidak tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada
wajah positif. Dan jika keinginan wajah negatif tidak tercapai, maka ancamannya
pada wajah negatif. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini adalah kehilangan
wajah (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang
harga diri.
2.2 Perbedaan Antara Sopan dan Santun
Istilah
sopan lebih banyak digunakan oleh para linguis untuk merujuk kepada tindakan
berbahasa guna menunjukkan ‘rasa hormat’ penutur terhadap mitra tutur, setelah
mempertimbangkan berbagai hal yang mengharuskan penutur melakukan hal itu.
Sementara itu, istilah santun (berbahasa) (politeness) lebih banyak digunakan
untuk mengacu pada tindak berbahasa atau komunikasi antar personal guna
menghindari rasa malu atau bahkan justru dipermalukannya wajah salah satu atau
kedua pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut.
2.3 Dimensional Konsep Wajah.
Dua dimensi dari konsep wajah dan kesantunan berbahasa sudah dikemukakan di atas, yakni dimensi yang lebih menjaga keharmonisan sosial (dalam faham/dimensi sosialisme) dan dimensi yang lebih menghargai kebebasan individual (dalam faham/dimensi individualisme).
2.4 Strategi dalam berkomunikasi
Strategi tanpa tedeng aling-aling/togmol (bald on-record strategies), digunakan untuk tindakan yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur. Kesantunan Positif (positive politeness) strategi kesantunan positif ini digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur. Kesantunan Negatif (negative politeness), digunakan apabila penutur menyadari adanya sebuah derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Strategi tak langsung (off-record strategies), digunakan terutama apabila ada ancaman yang lebih serius terhadap wajah mitra tutur.
BAB III PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Melalui
pembahasan dalam tulisan di atas, dapat simpulkan bahwa dalam berbahasa, kesantunan merupakan suatu hal
yang vital. Berbahasa santun itu sendiri merupakan kesadaran
timbal-balik bahwa penutur senantiasa menginginkan mitra tutur berekspresi sebagaimana
cara penutur berekspresi.
Kesantunan
berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama
berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal
yang bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng
wajah seseorang maupun
wajah diri sendiri.
Daftar Pertanyaan:
1. Apakah yang dimaksud dengan loosing face?
(Dian Meilawati Y/100210402077)
Jawaban: loosing
face adalah hilangnya harga diri yang disebabkan oleh jatuhnya harga diri
sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
2. Tolak ukur apa yang bisa dijadikan patokan bahasa
itu santun?
(Arif
Bahtiar)
Jawaban: tolak ukurnya adalah jarak sosial dan keakrapan antara penutur
dan mitra tutur.
3. Mengapa anda membagi kesantunan menjadi 3 poin
pokok? Kenapa harus ada tambahan pengancaman wajah?
(Helmi)
Jawaban: karena pengancaman wajah ini juga memerhatikan titik
tolak bahasa itu dikatakan santun, seperti memerhatikan jarak sosial antara
mitra tutur dan penutur. Pengancaman ini juga bisa bersifat positif dan juga
negatif. Jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka
pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur
memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah bersifat positif.
cute....tq atas masukannya..
BalasHapus