Sabtu, 15 Desember 2012

PRAGMATIK: KESANTUNAN BAHASA

PRAGMATIK: KESANTUNAN BAHASA
 
BAB I PENDAHULUAN



1.1 Latar Belakang
Berbicara tidak selamanya berkaitan dengan masalah yang bersifat tekstual, tetapi seringkali pula berhubungan dengan persoalan yang bersifat interpersonal. Apabila sebagai retorika tekstual, pragmatik membutuhkan prinsip kerja sama maka dalam retorika interpersonal, pragmatik membutuhkan prinsip kesantunan bahasa.
Kesantunan dalam berbahasa merupakan bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language in use), kesantunan (politeness) dalam berbahasa seyogyanya mendapatkan perhatian, baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan bahasa, karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam terdapat komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan. Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa.
1.2 Rumusan Masalah
Rumusan masalah yang akan dibahas dalam makalah ini adalah pengertian kesantunan dan jenis-jenis kesantunan.

1.3 Tujuan
Tujuan dari pembahasan yang dilakukan dalam makalah ini adalah mengungkap pengertian kesantunan dan jenis-jenis kesantunan.


BAB II PEMBAHASAN



Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial penutur dan mitra tutur. Makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara umum, padahal kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).
Kesantunan dapat dilihat dari berbagai segi dalam pergaulan sehari-hari. Pertama, kesantunan memperlihatkan sikap yang mengandung nilai sopan santun atau etiket dalam pergaulan sehari-hari. Kedua, kesantunan sangat kontekstual, yakni berlaku dalam masyarakat, tempat atau situasi tertentu, tetapi belum tentu berlaku bagi masyarakat, tempat atau situasi lain. Ketiga, kesantunan selalu bipolar, yaitu memiliki hubungan dua kutub, seperti antara anak dan orangtua, antara orang yang masih muda dan orang yang lebih tua, antara tuan rumah dan tamu, antara pria dan wanita dan lain sebagainya. Keempat, kesantunan tercermin dalam cara berbusana, cara bertindak dan cara bertutur.
Kesantunan berbahasa merupakan salah satu aspek kebahasaan yang dapat meningkatkan kecerdasan emosional penuturnya karena didalam terdapat komunikasi, penutur dan petutur tidak hanya dituntut menyampaikan kebenaran, tetapi harus tetap berkomitmen untuk menjaga keharmonisan hubungan.
Kesantunan berbahasa tercermin dalam tatacara berkomunikasi lewat tanda verbal atau tata cara berbahasa. Tatacara berbahasa sangat penting diperhatikan para peserta komunikasi (komunikator dan komunikan) demi kelancaran komunikasi.
Kesantunan memang penting dimana pun individu berada. Setiap anggota masyarakat percaya bahwa kesantunan yang diterapkan mencerminkan budaya suatu masyarakat, termasuk kesantunan berbahasa.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur.

2.1 Teori Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan “pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh pemberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Teori ini kemudian memilah wajah menjadi dua jenis.: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.
Kesantunan sering dikaitkan dengan kesopanan, tetapi kedua kata tersebut memiliki makna yang berbeda. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berperilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan.
Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya). Untuk lebih memahami konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan contoh-contoh, baik wajah positif maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.

2.1.1 Wajah Positif (Positive Face)
Sebagaimana telah disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh percakapan dua orang teman berikut ini.
Ela     :     Aku pulang dulu ya.
Shofi  :     Wes mari? Iyo wes yo Pezz mari dewe. Gelundung, gelundung dewe! Ora bala wes. (Sudah selesai? Iya sudah ya Pez, selesai dulua. Menggelinding sendiri ya! gak berteman lagi sudah.)
Ela     :     Ya wes. Bali disek. (Ya sudah. Pulang dulu.)
Sofi    :     Yo wes Pezz. Ati-ati Pezz. (Iya sudah Pezz. Hati-hati Pezz.)

Apabila dilihat sejenak, percakapan singkat antara dua orang ini terkesan tidak sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini, dengan alasan mereka adalah teman dekat. Hal ini dapat dilihat ketika Sofi berkata pada ela “Iyo wes yo Pezz mari dewe. Gelundung, gelundung dewe!” Kata “gelundung dewe!” mungkin apabila diucapkan pada orang yang memiliki jarak sosial agak jauh atau jauh (bukan pada Ela dalam hal ini) akan menimbulkan ketersinggungan pada mitra tutur. Dilihat dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil bahkan sedikit terkesan tidak sopan, tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing dan menimbulkan keakraban pertemanan. Perhatikan contoh kedua berikut ini.
Sopir A :    Mus, apakah kamu sudah mendapatkan kabar mengenai STNK kamu yang ditahan polisi itu?
Sopir B :    Eh.. pemabuk, sejak kapan kamu peduli persoalanku? Belum nih, tidak tahu mungkin sudah mereka bakar.
Sopir A :    Ah, kasih saja uang 150 biar mereka urus secepatnya.
Sopir B :    Ya astaga, kamu pikir polisi itu mertua kamu? Sudah aku coba, tapi mereka tidak mau.

Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara dua sopir angkot ini terkesan kasar, dan tidak sopan. Mungkin sebagian berpendapat bahwa wajar mereka berkomunikasi seperti ini, dengan alasan mereka adalah teman dekat, dan mungkin berpendidikan rendah. Tidak ada yang salah dengan pendapat-pendapat ini. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil, tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.
Tuturan sopir B memiliki muatan positif agar jarak keakraban antara mereka (sopir A dan sopir B) terjaga. Kata “pemabuk” yang dituturkan oleh sopir B adalah untuk menunjukan kedekatan jarak sosial, rasa kekoncoan, sehingga secara psikologis tidak ada jarak pula. Kedekatan jarak sosial yang direfleksi oleh penggunaan bahasa semacam di atas memiliki nilai wajah positif. Seandainya sopir B merespon pertanyaan sopir A dengan irama sopan semacam “belum ada kabar Pak…” maka tentu saja jarak sosial antara mereka menjadi renggang, dan wajah mereka terancam.
Maksud dari mengancam wajah (face threatening) adalah mengancam jatidiri sebagai sahabat dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah kerenggangan jarak sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep wajah positif. Mengenai pengancaman wajah (face threatening act) ini akan diulas kemudian.

2.1.2 Wajah Negatif (Negative Face)
Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh percakapan antara dua orang penumpang angkot yang tidak saling kenal antara satu sama lain di bawah ini.
Penumpang A :    Maaf yah, numpang tanya, apakah Gambirono masih jauh dari sini?
Penumpang B  :    Wah mas, ini sekarang sudah sampai di Rambipuji. Memangnya mas mau turun dimana?
Penumpang A :    Saya tadi bilang ke sopir kalau saya mau turun di Gambirono. Maaf, jadi apakah Gambirono masih jauh?
Penumpang B  :    Bukannya masih jauh Mas, tapi sudah kelewat jauh. Mungkin lebih baik Mas turun disini saja, nanti naik angkot lagi dari timur, nanti bilang turun di Gabirono.
Penumpang A :    Waduh, terima kasih ya.
Penumpang B  :    Terima kasih kembali Mas.

Sangat terlihat jelas bahwa kedua partisipan (penutur dan mitra tutur) dalam percakapan ini menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata “maaf” yang diulang sebanyak dua kali oleh penumpang A. Penggunaan dan pengulangan penggunaan kata “maaf” oleh penumpang A ini untuk menjaga wajah negatif penumpang B. Artinya, penumpang A tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah individu penumpang B.
Demikian pula dengan penggunaan kata “Mas” yang berulang-ulang oleh penumpang B, yang merupakan sapaan sopan untuk penumpang A yang dicurigai sebagai pendatang, bukan masyarakat asli. Penggunaan dan pengulangan kata “mas”, penumpang B berusaha untuk menunjukkan bahwa dia menghargai jatidiri penumpang A sebagai individu yang dihargai atribut individualnya, termasuk sebagai pendatang dan bukan masyarakat asli.
Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur, agar tidak terjadi pengancaman wajah. Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata akademik.

2.1.3 Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)
Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri, mengancam jatidiri sebagai sahabat dekat, konco, dan sebagainya. Isu sentral dari mengancam wajah adalah kerenggangan jarak sosial yang diakibatkan oleh penggunaan bahasa yang relatif tidak santun, atau tidak memenuhi kaidah-kaidah konsep wajah positif.
Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua: Heh… ini kan sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?
Muda: Kami minta maaf pak.

Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena jarak sosial (usia dan juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam wajah mitra tutur muda, melainkan juga wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act) yakni dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari keinginan wajah penutur tua untuk tidak diganggu.
Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif.  Jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah bersifat positif.
Intinya, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan untuk bebas dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika keinginan wajah positif tidak tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada wajah positif. Dan jika keinginan wajah negatif tidak tercapai, maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini adalah kehilangan wajah (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang harga diri.
2.2 Perbedaan Antara Sopan dan Santun
          Istilah sopan lebih banyak digunakan oleh para linguis untuk merujuk kepada tindakan berbahasa guna menunjukkan ‘rasa hormat’ penutur terhadap mitra tutur, setelah mempertimbangkan berbagai hal yang mengharuskan penutur melakukan hal itu. Sementara itu, istilah santun (berbahasa) (politeness) lebih banyak digunakan untuk mengacu pada tindak berbahasa atau komunikasi antar personal guna menghindari rasa malu atau bahkan justru dipermalukannya wajah salah satu atau kedua pihak yang terlibat dalam komunikasi tersebut.
2.3  Dimensional Konsep Wajah.

          Dua dimensi dari konsep wajah dan kesantunan berbahasa sudah dikemukakan di atas, yakni dimensi yang lebih menjaga keharmonisan sosial (dalam faham/dimensi sosialisme) dan dimensi yang lebih menghargai kebebasan individual (dalam faham/dimensi individualisme).
2.4 Strategi dalam berkomunikasi

         Strategi tanpa tedeng aling-aling/togmol (bald on-record strategies), digunakan untuk tindakan yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur. Kesantunan Positif (positive politeness) strategi kesantunan positif ini digunakan untuk tindakan bertutur yang tidak terlalu mengancam wajah mitra tutur. Kesantunan Negatif (negative politeness), digunakan apabila penutur menyadari adanya sebuah derajat ancaman yang bisa diterima oleh mitra tuturnya. Strategi tak langsung (off-record strategies), digunakan terutama apabila ada ancaman yang lebih serius terhadap wajah mitra tutur.


BAB III PENUTUP



3.1 Kesimpulan
Melalui pembahasan dalam tulisan di atas, dapat simpulkan bahwa dalam berbahasa, kesantunan merupakan suatu hal yang vital. Berbahasa santun itu sendiri merupakan kesadaran timbal-balik bahwa penutur senantiasa menginginkan mitra tutur berekspresi sebagaimana cara penutur berekspresi.
Kesantunan berbahasa bersentral pada jarak sosial, yang mana sekaligus mengatur tata krama berbahasa kita. Santun berarti tidak mengancam wajah, tidak menyatakan hal-hal yang bermuatan ancaman terhadap harga diri seseorang, atau tidak mencoreng wajah seseorang maupun wajah diri sendiri.


















Daftar Pertanyaan:
1. Apakah yang dimaksud dengan loosing face?
(Dian Meilawati Y/100210402077)
Jawaban: loosing face adalah hilangnya harga diri yang disebabkan oleh jatuhnya harga diri sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
2. Tolak ukur apa yang bisa dijadikan patokan bahasa itu santun?
     (Arif Bahtiar) 
     Jawaban: tolak ukurnya adalah jarak sosial dan keakrapan antara penutur dan mitra tutur.
3. Mengapa anda membagi kesantunan menjadi 3 poin pokok? Kenapa harus ada tambahan pengancaman wajah?
     (Helmi)
Jawaban: karena pengancaman wajah ini juga memerhatikan titik tolak bahasa itu dikatakan santun, seperti memerhatikan jarak sosial antara mitra tutur dan penutur. Pengancaman ini juga bisa bersifat positif dan juga negatif.  Jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah bersifat positif.

1 komentar: