APRESIASI PUISI WS RENDRA BERJUDUL
RAKYAT ADALAH SUMBER KEDAULATAN
DENGAN PENDEKATAN EKSPRESIF
BAB
1. PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hakikat
puisi,menurut Hudson,adalah salah satu cabang sastra yang menggunakan kata-kata
sebagai medium penyampaian untuk membuahkan ilusi dan imajinasi,seperti halnya
lukisan menggunakan garis dan warna dalam menggambarkan gagasan pelukisnya.
Menurut Herman J Waluyo(1991:25),puisi adalah bentuk karya satra yang
mengungkapkan pikiran dan perasan penyair secara imajinatif dan disusun dengan
pengonsentrasian struktur fisik dan struktur batinnya. Dengan demikian,sebenarnya
puisi merupkan ungkapan batin dan pikiran penyair dalam menciptakan sebuah
dunia berdasarkan pengalaman batin yang digelutinya.
Sedangkan
pengertian apresiasi menurut Effendi (Suroto,
1989: 158),
adalah upaya atau proses menikmati, memahami dan menghargai suatu karya sastra
secara kritis, sehingga menumbuhkan pengertian, penghargaan, kepekaan pikiran kritis
dan kepekaan perasaan yang baik terhadap karya sastra.Tarigan (1984: 233)
mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah penafsiran kualitas karya sastra
pemberian nilai yang wajar kepadanya berdasarkan pengamatan dan pengalaman yang
jelas, sadar serta kritis. Selanjutnya, Rusyana (1984: 322) mengatakan bahwa apresiasi sastra adalah
sebagai pengenalan dan pemahaman yang tepat terhadap nilai sastra, dan
kegairahan kepadanya, serta kenikmatan yang timbul sebagai berikut dari semua
itu.
Jadi,apresiasi
puisi adalah upaya atau proses menikmati, memahami
dan menghargai puisi secara
kritis, sehingga menumbuhkan pengertian,
penghargaan, kepekaan pikiran kritis dan kepekaan perasaan yang baik terhadap puisi yang diapresiasi.
Dalam
puisi WS Rendra yang berjudul Rakyat
adalah Sumber Kedaulatan,termasuk salah satu contoh jenis puisi ekspresif.
Puisi ekspresif ini merupakan puisi lirik yang menonjolkan ekspresi pribadi
penyairnya:perasaan, pemikiran,pandanagn hidup,lambang-lambang,dan persoalan
yang dilontarkan dalam sajak adalah milik khas penyairnya yang akan berubah
pula kalau kepribadiannya berubah.
Puisi Rendra yang berjudul Rakyat adalah Sumber
Kedaulatan ini mempersoalkan masalah eksistensi Dewan
Perwakilan Rakyat, yang mana
puisinya adalah sebagai berikut:
Rakyat
adalah sumber kedaulatan
kekuasaan tanpa rakyat
adalah benalu tanpa karisma
Rakyat adalah bumi
politik dan kebudayaan adalah udara
bumi tanpa udara
adalah bumi tanpa kehidupan
udara tanpa bumi
adalah angkasa hampa belaka
Wakil rakyat bukanlah abdi kekuasaan
Wakil rakyat adalah abdi para petani
para kuli, para nelayan
dan para pekerja
dari seluruh lapisan kehidupan
Wakil rakyat
adalah wakil dari sumber kehidupan
Dari Aceh Mendesah dalam
Nafasku,
Ed. Abdul Wachid B.S. et.al.
(Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. 4
Titik pandang yang diambil dalam melakukan apresiasi terhadap puisi WS Rendra yang berjudul Rakyat adalah Sumber Kedaulatan ini adalah perasaan dan pemikiran dari pengarang
dalam membuat puisi. Sehingga, dalam
mengapresiasi puisi tersebut, penulis bisa lebih gampang dalam memahaminya.
Selain itu, pendekatan yang diambil dalam melakukan apresiasi terhadap puisi WS Rendra yang berjudul Rakyat adalah Sumber Kedaulatan yaitu pendekatan
ekspresif.
Pendekatan ekspresif adalah suatu
pendekatan yang berusaha menemukan unsur-unsur yang mengajuk emosi atau
perasaan pembaca (Aminuddin, 1987:42). Sedangkan menurut Semi (1984),
pendekatan ekspresif adalah pendekatan yang menitikberatkan perhatian kepada
upaya pengarang atau penyair mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra. Jadi,Pendekatan ekspresif disebut juga
pendekatan emotif. Di dalam pendekatan ekspesif, pengarang atau penyair
berupaya mengekspresikan ide-idenya ke dalam karya sastra, sehingga menarik
emosi atau perasaan pembaca. Cara yang digunakan pengarang dalam
mengekspresikan ide-idenya melalui gaya (style pengarang).
Gaya (style pengarang)
dapat dilihat dari:
1) bunyi
2)
irama
3) diksi
4) citraan
5) majas
6) gaya bahasa
7) tipografi.
Membaca puisi merupakan suatu cara untuk memahaminya. Dengan
membaca secara heuristik terlebih dahulu,dilanjutkan dengan membaca secara
hermeneutiknya,lalu
mencari perasan dan pemikiran yang diekspresikan oleh pengarang dalam puisi WS Rendra yang berjudul Rakyat adalah Sumber Kedaulatan .Metode
ini lebih mengarah kepada titik pandang dan pendekatan yang di angkat. Jadi,
menerapkan metode ini dengan dimulai
dari membaca secara keseluruhan. Lalu mulai mengidentifikasikan pikiran dan perasaan yang
terkandung dalam di dalamnya.
Berdasarkan
uraian di atas, puisi WS Rendra yang berjudul Rakyat adalah Sumber Kedaulatan
dapat merangsang rasa ingin tahu pembaca dengan menganalisisnya untuk
mengetahui
pikiran dan perasaan yang terkandung di dalam puisi tersebut. Hal ini yang membuat
penulis tertarik untuk menganalisis puisi tersebut, maka diambil judul Apresiasi Puisi Ws Rendra Berjudul Rakyat
adalah Sumber Kedaulatan Dengan Pendekatan Ekspresif.
1.2 Perumusan Masalah
Bagaimanakah perasaan dan pemikiran WS Rendra dalam puisinya yang berjudul Rakyat adalah Sumber Kedaulatan?
1.3
Tujuan dan Manfaat
Mengetahui
perasaan dan pemikiran WS Rendra dalam
puisinya yang berjudul Rakyat adalah
Sumber Kedaulatan.
BAB 2. PEMBAHASAN
Secara sederhana, bahasa pada adalah
alat komunikasi bagi segala sesuatu yang berhubungan dengan hal yang
berlangsung di dalam jiwa manusia. Sementara itu, dalam proses perkembangan
bahasa dapat disebabkan banyak hal seirama dengan perkembangan masyarakat
pemakainya, juga secara rekayasa seperti yang dilakukan oleh negara.
Pada konteks sosialnya,bahasa dapat
mengalami tekanan-tekanan oleh persoalan yang melingkupinya senyampang dengan
tekanan yang dialami oleh masyarakat pemakai bahasa itu.
Pada akhir 1950-an
hingga 1960-an, situasi sosial digiring kepada pemaknaan baru revolusi
versi Soekarno, jargon-jargon politiknya demikian merebak dalam pengucapan
sehari-hari : neokolonialisme (Neokolim), Jasmerah (jangan sekali-kali
melupakan sejarah), ganyang, berangus, gerus, nasionalisme-agama-komunis
(Nasakom), dan semacamnya,yang
tentu saja “kata-kata besar” itu bukannya tanpa risiko dampak kengeriannya.
Dengan lingkungan
bahasa demikian, bahasa mengalami pembesaran yang tampak menakutkan akibat
suntikan ideologi oleh elit politik, dan di sisi lain oleh masyarakat umum juga
direspon secara instan sebagai kemegahan; namun di sisi lain lagi oleh
masyarakat kritis disadari sebagai hal yang harus ditawar sebab
risiko-risikonya.
Suasana hingar-bingar
politik 1960-an yang akhirnya memunculkan kekerasan politik itu, pada konteks
kebahasaan dalam sastra memberi gambaran bahwa tanggapan oleh pemakai bahasa
secara umum itu juga tercermin di dalam sastra. Disatu sisi, kerasnya bahasa
yang dipompa oleh suasana sosial politik memunculkan realisme sosial sebagai
paradigma, dengan citra estetik kebahasaan sastra maupun citra ideologisnya.
Disegi lain,
kekerasan yang tercitra melalui bahasa, juga memunculkan upaya untuk
menyublimasi dan mengembalikan bahasa kepada keadaan normalnya, yang memberi
ruang pemaknaan masyarakat pemakainya secara sejuk. Hal ini tercermin
sebagaimana dilakukan sastrawan yang kemudian kita kenal sebagai kaum
manifestan.
Tarik-menariknya
ideologi pada masa itu senyampang dengan upaya negara untuk merangkul tiga
komponen ideologi besar, yakni nasionalisme, agama, dan komunisme. Memang hal
tersebut dapat dibaca sebagai munculnya demokrasi di dalam berkebudayaan, yang
memberikan ruang bagi hak berpolitik, hak sipil, dan hak aktualisasi diri,
sebagaimana substansi berdemokrasi. Pada kesusastraan pun antara ideologi dan
ideologi lain melakukan kompetisi untuk mengukuhkan “bahasa” masing-masing
dengan segala pemaknaan sosiologisnya.
Politik-identitas
ideologi masa 1950-1960-an itu berakhir dengan jatuhnya rejim Orde Lama
Soekarno oleh gerakan mahasiswa yang didukung oleh Angkatan Darat sehingga
memunculkan Soeharto. Hingar-bingar ideologi politik perlahan-lahan digembosi,
yakni dengan adanya fusi para partai politik ke dalam tiga nuansa,
nasionalisme, agama, dan Golongan Karya (menggantikan Nasakom, hal yang dulu
ditentangnya).
Namun, dengan
puncaknya yaitu dengan pengasasan-tunggal Pancasila terhadap semua kekuatan
politik di Indonesia, karenanya mengakibatkan tekanan yang lebih besar terhadap
hak-hak sipil oleh militer. Pada masa inilah, menjelang Pemilu 1978 dan
setelahnya, bermunculan “kata-kata besar” yang mirip dengan masa rejim
sebelumnya: “pembangunan manusia seutuhnya”, dan semacamnya; sebagai upaya
berkompetisi mencari posisi di dalam kekuasaan. Bahasa bernasib sama dengan di
masa Orde lama, hanya saja pada masa Orde Lama “membesarnya bahasa” tidak saja
terjangkit kepada masyarakat pelaku politik, melainkan bahkan ke sebagian besar
masyarakat. Pada masa Orde Baru sebab semua elemen ideologi telah dimandulkan
sehingga mengenali bahasa yang membesar itu lebih mudah datangnya yakni
dihembuskan oleh lingkaran kekuasaan dan militer. Sementara itu, bahasa di
luarnya cenderung mengalami pemungkretan, eufemisasi yang keterlaluan
sehingga mengaburkan arti dan tujuan komunikasinya.
Pada kesusastraan,
tekanan sosial politik terhadap masyarakat itu berimbas ke dalam ekspresi
sastra, yang dalam pemakaian bahasa sebagaian mengalami pentabiran estetisme,
bahkan dijadikan ideologi oleh sebagian sastrawan, sekalipun di sisi lain juga
penuh dengan tawaran di dalam tiarap. Rute dominannya estetisme sebagai
ideologi ini dapat dibaca sebab kesusastraan Indonesia bergantung kepada media
massa di dalam sosialisasinya; padahal, media-massa di bawah kendali negara
melalui Departemen Penerangan dengan berbagai kecemasan akan pencabutan
SIT/SIUPP jika fakta tak diekspose sejalan dengan versi negara. Pada konteks
inilah, sastra mengalami penyaringan oleh media-massa yang telah dihegemoni
oleh negara. Karenanya, rute sosialisasi yang demikian tidak menampakkan sastra
vis-a-vis terhadap negara. Upaya menyiasati seperti pernah dilakukan
oleh Revitalisasi Sastra Pedalaman (RSP) hanya sebatas gertakan merebut ruang
publik, dan karenanya tidak substansial, selebihnya justru mengukuhkan hegemoni
yang tanpa disadari kian memerosokkan estetisme.
Penawaran-penawaran
akibat tekanan terhadap bahasa, dan imbas tekanan terhadap unsur kebudayaan
lainnya itu di dalam kesusastraan (baca: puisi) dilakukan dengan munculnya
beberapa gejala, yang dapat kita kenali sebagai berikut.
(1)
“Sajak-sajak yang menyatakan”
pikirannya sebagai respon langsung terhadap represi yang dialami oleh realitas
sosial, dengan gaya dan sudut-pandang secara langsung, mempersoalkan, bahkan
merumuskan problem sosial itu, yang berpusat kepada aku-lirik (juga,
aku-publik, kerap mengidentifikasi dalam penokohan jika bentuk sajak
berkisah atau balada) berhadapan langsung terhadap negara yang diposisikan
sebagai penyebab dari tekanan mental dan jasmani yang dialami masyarakat.
(2)
“Sajak-sajak yang menampilkan” problem sosial,
sembari melalui bahasa puisi “menyatakan” ide atau sikapnya atas problem itu,
tanpa merumuskan persoalan sosialnya sebab alasan estetika, di segi lain sebab
sengaja tiarap dari berhadapan langsung terhadap negara.
Gaya dan
sudut-pandang semacam ini merupakan penerusan dari perpuisian Rendra di tahun
1960-an, sampai akhir hayatnya,
vis-a-vis terhadap negara. Dengan sudut-pandang demikian, setiap
berkebudayaan masyarakat yang dipandang mengalami problem akibat kekerasan yang
muncul sebab salah-urus negara, maka akan dikritisinya, dari perihal pelacuran
sampai perihal penggusuran tanah, dan bermacam lainnya.
Tentu saja, sebab
berhadapan langsung dengan negara, maka karya sastra akan selalu mengalami
penolakan dari media massa yang
keberadaannya di bawah kontrol negara. Contohnya, sajak Rendra yang berjudul Rakyat
adalah Sumber Kedaualatan.
Rakyat
adalah sumber kedaulatan
kekuasaan tanpa rakyat
adalah benalu tanpa karisma
Rakyat adalah bumi
politik dan kebudayaan adalah udara
bumi tanpa udara
adalah bumi tanpa kehidupan
udara tanpa bumi
adalah angkasa hampa belaka
Wakil rakyat bukanlah abdi kekuasaan
Wakil rakyat adalah abdi para petani
para kuli, para nelayan
dan para pekerja
dari seluruh lapisan kehidupan
Wakil rakyat
adalah wakil dari sumber kehidupan
Dari Aceh Mendesah dalam
Nafasku,
Ed. Abdul Wachid B.S. et.al.
(Banda Aceh: Kasuha, 1999), hal. 4
Dimana puisi tersebut mempersoalkan
eksistensi Dewan Perwakilan Rakyat terhadap kinerjanya. Yang mana para DPR itu sebenarnya bertugas sebagai
penyalur sekaligus pejuang aspirasi rakyat. Bukan untuk menyalurkan kepentingan sendiri,apalagi
memperjuangkan kepentingan golongan tertentu untuk kepentingan tertentu.
Jadi dari puisi diatas,kita bisa mengambil pelajaran,bahwa dalam menerima
suatu tugas,hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab.
Apalagi kita sudah dipercaya unruk mengemban tugas tersebut.
BAB 3. PENUTUP
Perasaan
WS Rendra dalam puisinya yang berjudul Rakyat
adalah Sumber Kedaulatan ini menyerap dari suasana hingar-bingar
politik 1960-an yang akhirnya memunculkan suatu problema politik. Dimana dalam
konteks kebahasaan sastra memberikan gambaran bahwa tanggapan dari pemakai bahasa
secara umum juga tercermin di dalam sastra. Hal tersebut merupakan respon
langsung terhadap represi yang dialami oleh realitas sosial, dengan gaya dan
sudut-pandang secara langsung, mempersoalkan, bahkan merumuskan problem sosial
itu.
Pemikiran
pengarang sendiri dalam puisi tersebut tercermin dalam bait-bait puisinya yang
mengisyaratkan agar DPR kembali menoleh kepada rakyat atau orang yang menerima
kepercayaan,hendaknya dilakukan dengan sungguh-sungguh dan bertanggungjawab.Bukannya
menyalurkan kepentingan sendiri, apalagi memperjuangkan kepentingan golongan
tertentu untuk kepentingan tertentu.
DAFTAR PUSTAKA
Kasnadi,Sutejo.2009.Kajian Puisi.Yogyakarta:Pustaka Felicha.
Tarigan,G.H.1984.Prinsip-prinsip
Dasar Sastra.Bandung:Angkasa.
Universitas
Jember.2009.Pedoman Penulisan Karya Tulis
Ilmiah.Jember:Jember University Press.
terimakasih
BalasHapus