Sabtu, 15 Desember 2012

KESANTUNAN DALAM BERBAHASA


KESANTUNAN DALAM BERBAHASA

Siti Lailatus Saadah
NIM 100210401110

Kesantunan dalam berbahasa merupakan bidang baru dalam kajian kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language in use). Kesantunan (politeness) dalam berbahasa, seharusnya mendapatkan perhatian baik oleh pakar atau linguis, maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang kodratnya adalah “makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah sepatutnya beretika.
Bersikap atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak sosial penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga dipahami sama secara umum; sementara itu, kedua hal tersebut sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial (Thomas, 1995).

Teori Kesantunan Bebahasa

Teori Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson
Menurut Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967), bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,” baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan “pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku, termasuk dalam berbahasa.
Jika Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah itu.
Kesantunan itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki arti berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco, pacar, dan sebagainya). Untuk lebih memahami konsep wajah ini, berikut akan saya suguhkan contoh-contoh, baik wajah positif maupun negatif, dalam konsep kesantunan berbahasa.
Wajah Positif (Positive Face)
Sebagaimana telah disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban antara penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh 4 anak di dunia maya (facebook):
Alifianita           : anti pelajaran Matematika dan Kimia, karena sulit.
Emirna               : mandaro guru Matematika tergeletak sakit di rumah sakit kayak guru Pkn.
Alifianita           : iya,amin.
Mutiara              : semoga gurunya pensiun.
Yogi                  : diganti ibukmu aja mut.
Mutiara              : ojok ibuk ku,guru agama.
Yogi                  : ya gak papa.
Sejenak jika dilihat, percakapan singkat antara 4 anak ini terkesan kasar dan menyinggung orang lain, akan tetapi karena kedekatan mereka sebagai seorang teman hal tersebut masih wajar dan termasuk wajah positif dalam kesantunan berbahasa. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil,terkesan tidak sopan; tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara berkomunikasi ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.
Wajah Negatif (Negative Face)
Berbeda dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan contoh cuplikan surat pernyataan yang menggambarkan wajah negatif:
...
Setelah mendapat bimbingan dari Bapak, Ibu guru BK, kami berempat berjanji menggunakan dunia maya dengan bahasa dan etika, tidak menyinggung perasaan orang lain dan menyakitkan hati orang lain, namun kami berempat di harapkan untuk menghadirkan orang tua ke sekolah.
Demikian kami tulis pernyataan ini. Kami tulis dengan baik dan sadar.
...
Sangat terlihat jelas bahwa keempat partisipan dalam percakapan cuplikan surat pernyataan tersebut menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat dari penggunaan kata “kami” yang diulang sebanyak empat kali. Penggunaan dan pengulangan penggunaan kata “kami” oleh partisipan ini untuk menjaga wajah negatif pada sang guru. Artinya, partisipan tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan tidak ingin mengganggu wilayah individu sang guru.
Melalui dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan mitra tutur. Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak pada tingkat keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial, dan strata akademik.
Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)
Sebagaimana telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah orang lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri.
Pengancaman wajah melalui tindak tutur (speech act) akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua      : Heh… ini kan sudah malam, kok ribut banget? Tidak ada rumah ya?
Muda: Saya, om. Kami minta maaf.
(contoh lain di luar surat pernyataan)
Dalam konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah dengan mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena jarak sosial (usia dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh. Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam wajah mitra tutur muda, bahkan wajah penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon dari mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act); yaitu dengan cara melakukan kesantunan negatif dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari keinginan wajah penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak terganggu.
Pengancaman terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif.  Jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh, maka pengancaman wajah bersifat positif.
Intinya, wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan untuk bebas dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk mitra tutur. Jika keinginan wajah positif tidak tercapai dalam bertutur, maka ancamannya pada wajah positif. Dan jika keinginan wajah negatif tidak tercapai, maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini adalah kehilangan wajah (loosing face), atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang harga diri.

Daftar Pustaka
Aziz, E. A. (2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications. Disertasi, Australia: Monash University.
Aziz, E. A. (2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar, Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.
Brown, P & S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in social interaction, 56-289. Cambridge: Cambridge University Press.
Goffman, E. (1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.
Thomas, J. (1995). Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London: Longman.
Yule, G. (2008). Pragmatik. Indonesia: Pustaka Pelajar.
Rahman, Z. 2011. Teori Kesantunan Berbahasa. http://zainurrahmans.wordpress. com/2011/02/27/teori-kesantunan-berbahasa/. [ 27 februari 2011]

Tidak ada komentar:

Posting Komentar