KESANTUNAN
DALAM BERBAHASA
Siti Lailatus
Saadah
NIM 100210401110
Kesantunan dalam berbahasa merupakan bidang baru dalam kajian
kebahasaan, khususnya bahasa dalam penggunaan (language in use). Kesantunan (politeness)
dalam berbahasa, seharusnya mendapatkan perhatian baik oleh pakar atau linguis,
maupun para pembelajar bahasa. Selain itu, penting juga bagi setiap orang untuk
memahami kesantunan berbahasa ini, karena manusia yang kodratnya adalah
“makhluk berbahasa” senantiasa melakukan komunikasi verbal yang sudah
sepatutnya beretika.
Bersikap
atau berbahasa santun dan beretika juga bersifat relatif, tergantung pada jarak
sosial penutur dan mitra tutur. Selain itu, makna kesantunan dan kesopanan juga
dipahami sama secara umum; sementara itu, kedua hal tersebut
sebenarnya berbeda. Istilah sopan merujuk pada susunan gramatikal
tuturan berbasis kesadaran bahwa setiap orang berhak untuk dilayani dengan
hormat, sementara santun itu berarti kesadaran mengenai jarak sosial
(Thomas, 1995).
Teori
Kesantunan Bebahasa
Teori
Wajah oleh Goffman, Brown, dan Levinson
Menurut
Brown dan Levinson (1987), yang mana terinspirasi oleh Goffman (1967),
bahwasanya bersikap santun itu adalah bersikap peduli pada “wajah” atau “muka,”
baik milik penutur, maupun milik mitra tutur. “Wajah,” dalam hal, ini bukan
dalam arti rupa fisik, namun “wajah” dalam artian public image, atau
mungkin padanan kata yang tepat adalah “harga diri” dalam pandangan masyarakat.
Konsep
wajah ini berakar dari konsep tradisional di Cina, yang dikembangkan oleh Konfusius
terkait dengan nilai-nilai kemanusiaan (Aziz, 2008). Pada wajah, dalam tradisi
Cina, melekat atribut sosial yang merupakan harga diri, sebuah penghargaan yang
diberikan oleh masyarakat, atau dimiliki secara individu. Wajah, merupakan
“pinjaman masyarakat,” sebagaimana sebuah gelar akademik yang diberikan oleh
sebuah perguruan tinggi, yang kapan saja bisa ditarik oleh yang memberi. Oleh
karena itu, si pemilik wajah itu haruslah berhati-hati dalam berprilaku,
termasuk dalam berbahasa.
Jika
Goffman (1967) menyebutkan bahwa wajah adalah atribut sosial, maka Brown dan
Levinson (1987) menyebutkan bahwa wajah merupakan atribut pribadi yang dimiliki
oleh setiap insan dan bersifat universal. Dalam teori ini, wajah kemudian
dipilah menjadi dua jenis: wajah dengan keinginan positif (positive face), dan wajah
dengan keinginan negatif (negative face). Wajah positif terkait dengan nilai
solidaritas, ketakformalan, pengakuan, dan kesekoncoan. Sementara itu, wajah
negatif bermuara pada keinginan seseorang untuk tetap mandiri, bebas dari
gangguan pihak luar, dan adanya penghormatan pihak luar terhadap kemandiriannya
itu (Aziz, 2008:2). Melihat bahwa wajah memiliki nilai seperti yang telah
disebutkan, maka nilai-nilai itu patut untuk dijaga, dan salah satu caranya
adalah melalui pola berbahasa yang santun, yang tidak merusak nilai-nilai wajah
itu.
Kesantunan
itu sendiri memiliki makna yang berbeda dengan kesopanan. Kata sopan memiliki
arti menunjukkan rasa hormat pada mitra tutur, sedangkan kata santun memiliki
arti berbahasa (atau berprilaku) dengan berdasarkan pada jarak sosial antara
penutur dan mitra tutur. Konsep wajah di atas benar-benar berkaitan dengan
persoalan kesantunan dan bukan kesopanan. Rasa hormat yang ditunjukkan melalui
berbahasa mungkin berakibat santun, artinya, sopan berbahasa akan memelihara wajah
jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang jauh (misalnya antara
dosen dan mahasiswa, atau anak dan ayah). Meskipun demikian, bersikap santun
dalam berbahasa seringkali tidak berakibat sopan, terlebih lagi jika penutur
dan mitra tutur tidak memiliki jarak sosial yang jauh (teman sekerja, konco,
pacar, dan sebagainya). Untuk lebih memahami konsep wajah ini, berikut akan
saya suguhkan contoh-contoh, baik wajah positif maupun negatif, dalam konsep
kesantunan berbahasa.
Wajah Positif (Positive Face)
Sebagaimana
telah disebutkan bahwa wajah positif berkaitan dengan nilai-nilai keakraban
antara penutur dan mitra tutur. Perhatikan contoh 4 anak di dunia maya
(facebook):
Alifianita :
anti pelajaran Matematika dan Kimia, karena sulit.
Emirna : mandaro guru Matematika
tergeletak sakit di rumah sakit kayak guru Pkn.
Alifianita : iya,amin.
Mutiara : semoga gurunya pensiun.
Yogi : diganti ibukmu aja mut.
Mutiara : ojok ibuk ku,guru agama.
Yogi : ya gak papa.
Sejenak
jika dilihat, percakapan singkat antara 4 anak ini terkesan kasar dan
menyinggung orang lain, akan tetapi karena kedekatan mereka sebagai seorang
teman hal tersebut masih wajar dan termasuk wajah positif dalam kesantunan
berbahasa. Dari aspek kesopanan, cara mereka berkomunikasi memang ganjil,terkesan
tidak sopan; tetapi dari aspek kesantunan, melalui konsep wajah positif, cara
berkomunikasi ini adalah untuk memelihara wajah masing-masing.
Wajah Negatif (Negative Face)
Berbeda
dengan wajah positif, yang mana penutur dan mitra tutur mengharapkan terjaganya
nilai-nilai keakraban, ketakformalan, kesekoncoan, maka wajah negatif ini
dimana penutur dan mitra tutur mengharapkan adanya jarak sosial. Perhatikan
contoh cuplikan surat pernyataan yang menggambarkan wajah negatif:
...
Setelah mendapat bimbingan dari Bapak, Ibu
guru BK, kami berempat berjanji menggunakan dunia maya dengan bahasa dan etika,
tidak menyinggung perasaan orang lain dan menyakitkan hati orang lain, namun
kami berempat di harapkan untuk menghadirkan orang tua ke sekolah.
Demikian kami tulis pernyataan ini. Kami
tulis dengan baik dan sadar.
...
Sangat
terlihat jelas bahwa keempat partisipan dalam percakapan cuplikan surat
pernyataan tersebut menunjukkan ketidakakraban, atau keformalan. Ini bisa dilihat
dari penggunaan kata “kami” yang diulang sebanyak empat kali. Penggunaan dan pengulangan
penggunaan kata “kami” oleh partisipan ini untuk menjaga wajah negatif pada
sang guru. Artinya, partisipan tidak ingin terkesan akrab dan sesuka hati, dan
tidak ingin mengganggu wilayah individu sang guru.
Melalui
dua contoh yang menjelaskan dua konsep wajah di atas, jelaslah bahwa dalam
berbahasa, kita harus senantiasa mempertimbangkan jarak sosial antara kita dan
mitra tutur. Kesantunan berbahasa bukan terletak pada diksi, melainkan terletak
pada tingkat keakraban atau jarak sosial, termasuk usia, gender, strata sosial,
dan strata akademik.
Pengancaman Wajah (Face Threatening Act)
Sebagaimana
telah dijelaskan dengan berbagai contoh, kesantunan (dan kesopanan) berbahasa
dapat diartikan sebagai sebuah penunjukan mengenai kesadaran terhadap wajah
orang lain (Yule, 2006:104). Wajah seseorang akan mengalami ancaman ketika
seorang penutur menyatakan sesuatu yang mengandung ancaman terhadap
harapan-harapan individu yang berkenaan dengan nama baiknya sendiri.
Pengancaman
wajah melalui tindak tutur (speech act)
akan terjadi jikalau penutur dan mitra tutur sama-sama tidak berbahasa sesuai
dengan jarak sosial. Perhatikan contoh berikut ini, dimana terjadi interaksi
antara tetangga yang berusia sudah tua dan yang masih muda:
Tua : Heh… ini kan sudah malam, kok ribut
banget? Tidak ada rumah ya?
Muda: Saya, om.
Kami minta maaf.
(contoh lain di
luar surat pernyataan)
Dalam
konteks interaksi seperti di atas, penutur tua melakukan pengancaman wajah
dengan mengatakan “tidak ada rumah ya?” ini disebut pengancaman wajah karena
jarak sosial (usia dan mungkin juga jarak keakraban) antara mereka jauh.
Bahkan, hal ini bukan hanya mengancam wajah mitra tutur muda, bahkan wajah
penutur tua itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh jatuhnya “harga diri” sosial
dengan menggunakan pernyataan yang kasar.
Respon dari
mitra tutur muda merupakan tindak penyelamatan wajah (face saving act); yaitu dengan cara melakukan kesantunan negatif
dengan mengeluarkan pernyataan yang menunjukkan kesadaran atas jarak sosial dan
wajah negatif penutur tua. Artinya, mitra tutur muda menyadari keinginan wajah
penutur tua untuk merdeka dan memiliki hak untuk tidak terganggu.
Pengancaman
terhadap wajah ini juga bersifat positif dan juga negatif. Jika penutur
dan mitra tutur memiliki jarak sosial dekat, maka pengancaman wajah bersifat
negatif. Sementara itu, jika penutur dan mitra tutur memiliki jarak sosial yang
jauh, maka pengancaman wajah bersifat positif.
Intinya,
wajah positif adalah keinginan partisipan untuk diterima oleh mitra tutur
sebagaimana kedekatan sosial antara mereka; wajah negatif adalah keinginan
untuk bebas dari interfensi, tekanan, atau gangguan dari pihak lain, termasuk
mitra tutur. Jika keinginan wajah positif tidak tercapai dalam bertutur, maka
ancamannya pada wajah positif. Dan jika keinginan wajah negatif tidak tercapai,
maka ancamannya pada wajah negatif. Konsekuensi logis dari ancaman wajah ini
adalah kehilangan wajah (loosing face),
atau dengan istilah sederhana adalah malu atau hilang harga diri.
Daftar
Pustaka
Aziz, E. A.
(2000). Refusing in Indonesian: Strategies and Politeness Implications.
Disertasi, Australia: Monash University.
Aziz, E. A.
(2008). Horison Baru Teori Kesantunan Berbahasa: Membingkai yang Terserak, Menggugat
yang Semu, Menuju Universalisme yang Hakiki. Pidato Pengukuhan Guru Besar,
Indonesia: Universitas Pendidikan Indonesia.
Brown, P &
S.C. Levinson. (1987). Universals in Language Usage: Politeness Phenomena. In
E.N. Goody (ed). Questions and Politeness: Strategies in social
interaction, 56-289. Cambridge: Cambridge University Press.
Goffman, E.
(1967). Interaction Ritual. Garden City, NY: Doubleday.
Thomas, J. (1995).
Meaning in Interaction: An Introduction to Pragmatics. London:
Longman.
Yule, G. (2008). Pragmatik.
Indonesia: Pustaka Pelajar.
Rahman, Z. 2011.
Teori Kesantunan Berbahasa. http://zainurrahmans.wordpress.
com/2011/02/27/teori-kesantunan-berbahasa/. [ 27 februari
2011]
Tidak ada komentar:
Posting Komentar